A.Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dalam Islam diwariskan dari generasi pertama sampai generasi sekarang ini dengan mutawatir sehingga tidak perlu diragukan lagi akan validitas kesahihannya. Berbeda dengan as-Sunnah, maka hadits-hadits yang mutawatir terbilang sedikit, sisanya adalah hadits-hadits yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang membutuhkan pengujian dan pengkajian untuk mengetahui mana riwayat yang shahih dan lemah. Penelitian dan upaya pemurnian syari’at dari hadits-hadits lemah dan palsu telah lama dilakukan oleh para ulama, mereka telah melakukan penelitian secara seksama terhadap dua rukun hadits yaitu sanad dan matan, namun beberapa tokoh masa kini banyak meragukan usaha para ulama hadits itu dalam melakukan kritik matan dalam uapaya membedakan hadits yang shahih dari yang lemah dan palsu.
Ahmad Amin mengatakan: “Akan tetapi mereka (para ahli hadits) jauh lebih mementingkan kritik sanad dari pada kritik matan, sangat jarang sekali anda menemukan kritik matan semisal ketika matan sebuah hadits tidak sesuai dengan keadaan dan kondisi di zaman Nabi ketika itu, atau matan sebuah hadits bertentangan dengan fakta sejarah, atau uslub hadits tidak sesuai dengan uslub yang biasa dipakai oleh Nabi-shallallahu alaihi wasallam-dan seterusnya. Kritik matan seperti ini sangat jarang sekali dibanding dengan perhatian mereka terhadap jarh dan ta’dil para perawi, bahkan Imam al-Bukhari sendiri dengan keluasan ilmu dan ketelitian beliau terkadang menyebutkan hadits-hadits yang jika ditelusuri, bertentangan dengan fakta-fakta sejarah, karena beliau hanya mencukupkan dengan kritik sanad saja.”[1]
Di tempat lain Ahmad Amin juga mengatakan:”Seandainya mereka (para ahli hadits) memperhatikan masalah kritik matan seperti perhatian mereka terhadap kritik sanad, niscaya banyak hadits yang akan nampak dengan jelas kepalsuannya, seperti kebanyakan hadits-hadits tentang Fadha’il A’mal yang berbicara tentang pujian terhadap tokoh-tokoh, suku-suku dan tempat-tempat tertentu.”[2]
Selanjutnya penulis juga mengutip perkataan Abu Rayah yang mengatakan:”Para ahli hadits sangat jarang sekali mengatakan terhadap sebuah hadits “mudtharib” jika masalahnya berkaitan dengan matan, karena (menurut mereka) hal ini bukan tugas muhadditsin, namun hal ini merupakan tugas para ahli ijtihad. Mereka (ahli hadits)) menghukumi sebuah hadits sebagai hadits mudtharib apabila berkaitan dengan sanad saja.”[3]
Perhatian para ulama ahli hadits yang begitu besar terhadap kritik sanad dengan mengabaikan kritik matan sebagaimana dikatakan oleh beberapa penulis muslim di atas dan juga beberapa orientalis barat mendorong penulis kitab “Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda Ulama’ al-Hadits an-Nabawi” untuk menelusuri dan meneliti lebih jauh tentang hal ini sekaligus menjawab tuduhan kealfaan para ulama ahli hadits dalam masalah kritik matn ini, di mana tuduhan ini sering digunakan untuk meragukan validitas dan kehujjahan as-Sunnah, penulis (Shalahuddin al-Idlibi) berkata:”Apakah sebenarnya kaum muslimin sama sekali tidak memperhatikan masalah kritik matan ini? Atau justru sebaliknya mereka telah melakukannya jauh-jauh hari? Dan jika mereka telah melakukannya, apakah dengan kaidah-kaidah dan metode tertentu? Inilah yang akan berusaha saya jawab dalam tulisan saya ini-insya’allah-.[4]
B.Pentingnya Kritik Matan
Shalahuddin al-Adlibi menyebutkan setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan kritik matan hadits ini menjadi sangat penting:
1.Munculnya Hadits-hadits Maudhu’
Secara umum hadits-hadits maudhu’ dan palsu mulai muncul sejak zaman sahabat terutama ketika terjadi fitnah di tengah para sahabat, utamanya fitnah dan perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah, ketika para simpatisan dari masing-masing kubu berusaha dengan berbagai cara untuk memenangkan kubunya dan memojokkan kubu yang lain, Mustafa as-Siba’i menganggap bahwa tepatnya tahun 40 H mulai bermunculannya hadits-hadits palsu yang terutama berkaitan langsung dengan fitnah politik dan perpecahan yang terjadi saat itu.
Setelah zaman sahabat, munculnya hadits-hadits palsu tidak berhenti, dengan berbagai macam tujuan dan kepentingan para waddha’un membuat hadits-hadits palsu, di antara tujuan-tujuan tersebut adalah membela madzhab fiqih yang dianut, di mana masing-masing madzhab membuat-buat hadits maudhu’ demi memenangkan madzhabnya dan merendahkan madzhab yang lain, salah satu contohnya adalah hadits:
يكون في أمتي رجل يقال له محمد بن إدريس أضر على أمتي من إبليس, ويكون في أمتي رجل يقال له أبو حنيفة هو سراج أمتي, هو سراج أمتي
“Akan datang pada ummatku seorang laki-laki bernama Muhammad bin Idris, ia jauh lebih berbahaya dari pada Iblis, dan akan datang pada ummatku seorang laki-laki bernama Abu Hanifah, dialah pelita bagi ummatku, dialah pelita bagi ummatku.”[5]
2.Adanya Fenomena Wahm (Kekeliruan) Di Kalangan Para Ruwat
Para sahabat adalah generasi terbaik ummat, generasi yang diberi amanah untuk menjaga as-Sunnah dan mewariskan serta menyampaikannya kepada generasi berikutnya. Para sahabat semuanya adalah uduul (adil) berdasarkan rekomendasi dan tazkiyah dari Allah dan Rasul-Nya, namun bagaimanapun juga para sahabat adalah manusia yang tidak maksum, terkadang jatuh dalam kekeliruan yang tidak disengaja inilah yang dimaksud dengan wahm.
Begitupula generasi setelah sahabat fenomena ini (wahm) terus bermunculan dalam kuantitas yang lebih banyak lagi, di sinilah pentingnya ilmu kritik matan hadits untuk memilah dan memilih mana riwayat yang termasuk dalam awham ar-ruwah dan mana yang tidak, sebagai contoh, dalam Shahih Muslim dari Abu Qatadah:
سئل عن صوم يوم الإثنين, قال: ذاك يوم ولدت فيه ويوم أنزل علي فيه...
ثم قال مسلم: وفي هذا الحديث من رواية شعبة: وسئل عن صوم يوم الإثنين والخميس, فسكتنا عن ذكر الخميس لما نراه وهما
“Beliau (Rasulullah) ditanya tentang puasa pada hari senin, beliau lantas menjawab: “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan diturunkan kepadaku (wahyu).” Lalu Imam Muslim mengatakan: “Dalam hadits ini sebenarnya ada riwayat Syu’bah (yang berbunyi):’Beliau ditanya tentang puasa hari senin dan kamis…” kami tidak menyebutkannya karena kami memandang itu adalah wahm (dari Syu’bah).”[6]
C.Kritik Matan Dari Masa ke Masa
Kritik matan dalam sejarah Islam sebenarnya bukan hal baru, namun telah dimulai jauh sebelum kritikan dan tuduhan-tuduhan para orientalis dan pengekor mereka datang, berikut pemakalah sampaikan perkembangan sekaligus contoh riil bagaimana kritik matan juga merupakan pilar utama dalam menilai validitas banyak hadits, mulai dari zaman sahabat sampai generasi-generasi yang datang setelah mereka.
a) Kritik Matan di Zaman Sahabat
Perhatian para sahabat Rasulullah terhadap segala hal yang disandarkan kepada Rasulullah sangatlah besar, namun karena dekatnya mereka dengan zaman kenabian maka hampir tidak ditemukan apa yang kita sebut dengan kritik sanad, justru yang lebih banyak ditemukan adalah apa yang menjadi tema bahasan makalah ini yaitu kritik matan. Sebagai contoh, berikut beberapa di antaranya:
1) Ketika A’isyah-radiallahu anha-mengkritisi apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah mengenai perintah berwudhu’ bagi mereka yang membawa jenzah ke kuburan, A’isyah mengatakan[7]:
أو نجس موتى المسلمين؟ وما على رجل لوحمل عودا؟
2) Begitu pula ketika Umar bin Khattab meriwayatkan dari Nabi-shallallahu alaihi wasallam-:
إن الميت يعذب ببكاء أهله عليه
“Sesungguhnya mayat itu diazab disebabkan tangisan keluarganya karena kepergiannya.”
Di koreksi oleh A’isyah bahwa Rasulullah mengucapkan sabda beliau ini terkait seorang wanita yahudi yang meninggal, ia diazab karena keluarganya menangisinya.[8]
3) Begitu juga apa yang dikutip oleh az-Zarkasyi dari kitab Musyqil al-Atsar oleh at-Thahawi dari riwayat Ubaid bin Rifa’ah al-Anshari dia berkata: “Kami berada di majlis Zaid bin Tsabit, maka kami berbicara tentang wajib atau tidaknya mandi jika seorang menggauli istrinya namun tidak inzaal? Maka Zaidpun berkata: “Jika salah seorang dari kalian menggauli istrinya lalu dia tidak inzaal maka ia hanya cukup membersihkan kemaluannya lalu berwudhu’ untuk shalat.”
Lalu salah seorang yang hadir di majlis itu berdiri lantas menfdatangi Umar bin Khattab dan member tahu beliau tentang apa yang disampaikan oleh Zaid. Lalu Umarpun berkata kepada orang itu “Pergi dan bawalah Zaid ke sini dan kamu sebagai saksinya nanti.”
Lalu orang itupun pergi dan membawa Zaid ke hadapan Umar, dan ketika itu Umar sedang duduk bersama beberapa pembesar sahabat di antaranya Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal, lalu Umar bertanya kepada Zaid “Apakah engkau memberi fatwa kepada orang dengan ini? Lalu Zaidpun menjawab “Demi Allah aku tidak membuat-buatnya, namun aku mendengar dari pamanku Rifa’ah bin Rafi’ dan Abu Ayyub al-Anshari.”
Lalu Umar berkata kepada pembesar sahabat yang berada di sekeliling beliau “Apa pendapat kalian? Maka merekapun berbeda pendapat tentang hal ini, lantas Ali bin Abi Thalib berkata “Utuslah seseorang kepada istri-istri Rasulullah, jika ada jawaban dari mereka maka masalahnya akan jelas.” Maka diutuslah seseorang untuk bertanya kepada Hafsah, lalu Hafsah menjawab “Aku tidak tahu.” Lantas diutuslah seseorang kepada A’isyah, lantas A’isyah menjawab:”Apabila kemaluan telah memasuki kemaluan maka wajiblah mandi.” Lantas Umarpun berkata:”Tidaklah seseorang melakukannya (menggauli istrinya) lalu ia tidak mandi, melainkan aku akan menghukumnya.”[9]
Maksud pemakalah membawakan contoh-contoh ini adalah sebagai bukti bahwa para sahabat juga sangat perhatian terhadap apa yang dinamakan dengan kritik matan, adapun mengenai pembahasan lebih jauh terkait tarjih terhadap masing pendapat maka tidak terkait dengan tema pembahasan.
b) Kritik Matan di Zaman Tabi’in
Tidak jauh beda dengan keadaan para sahabat terkait perhatian yang begitu besar terhadap kritik matan, para tabi’in juga memberikan perhatian yang begitu besar terhadap kritik matan di samping perhatian mereka terhadap kritik sanad, berikut kami bawakan beberapa saja di antara contoh-contoh hal ini:
1) Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih beliau dari jalan Muhammad bin Munkadir dari Sa’id bin Musayyib dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqas dari bapaknya dia berkata: “Rasulullah bersabda kepada Ali:
أنت بمنزلة هارون من موسى, إلا أنه لا نبي بعدي
Sa’id bin Musayyib berkata “Maka aku ingin bertanya langsung kepada Sa’ad (tentang apa yang dikatakan oleh Amir), maka akupun bertemu dengan Sa’ad, lantas akupun menceritakan tentang apa yang dikatakan oleh Amir, kemudian Sa’adpun berkata “Aku sendiri yang mendengarkannya (dari Rasulullah).” Aku berkata “Engkau mendengarnya (dari Rasulullah)? Sa’ad berkata “Ya.”[10]
2) Imam at-Tirmidzi berkata dalam kitab Sunan beliau, “Kami diceritakan oleh Abdullah bin Shalih, saya diceritakan oleh Mu’awiyah bin Shalih dari Abdurrahman bin Jubair dari Abu Darda’, dia berkata: “Suatu hari kami bersama Nabi, lalu beliau mengangkat pandangan beliau ke langit, lantas bersabda:
هذا أوان يختلس العلم من الناس, حتى لا يقدروا منه على شيء.
Abdurrahman bin Jubair berkata “Akupun bertemu dengan Ubadah bin Shamit, lantas aku berkata “Pernahkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh saudaramu Abu Darda’? akupun menceritakan kepada Ubadah apa yang dikatakan oleh Abu Darda’, kemudian Ubadahpun berkata “Abu Darda’ benar.”[11]
c) Kritik Matan Setelah Zaman Tabi’in
Setelah berlalunya zaman tabi’in, kritik matan dalam ilmu hadits mengalami perkembangan dan transformasi, beberapa ulama hadits mulai terkenal dengan kemampuan dan kompetensi yang mumpuni di bidang kritik matan seperti Imam Malik, as-Tsauri, Syu’bah dan para ulama hadits lainnya.
Banyak kutipan-kutipan perkataan mereka yang menunjukkan bahwa terkadang mereka menolak sebuah riwayat disebabkan masalah yang berkaitan dengan matan hadits, terkadang mereka menolak seorang perawi karena ketidak mampuan perawi bersangkutan dalam menguasai matan hadits, tidak mampu membedakan matan yang shahih dan salah dari sebuah hadits. Begitu juga para ualama al-jarh wa at-ta’dil terkadang menganggap seorang perawi tertentu tidak bisa diterima karena riwayat-riwayat yang dia bawakan merupakan riwayat-riwayat mungkar dan sangat jauh dari cahaya kenabian, al-Adlabi menyebutkan beberapa perawi hadits yang tertolak karena matan riwayat-riwayat yang dibawakannya, berikut di antara mereka:
-Wahb bin Wahb bin Katsir
-Muhammad bin Sa’id as-Syami
-Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari
-Ma’mun bin Ahmad as-Salmy
-Sa’id bin Basyir ad-Dimasyqi
-Sa’id bin Mirzaban al-Baqqal
-Dan lain-lain[12]
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab al-Manar al-Munif tentang beberapa ciri hadits dan riwayat lemah dan maudhu’, berikut beberapa di antaranya:
1. Mengandung makna yang aneh yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah
2. Isi kandungan riwayat sangat bertentangan dengan akal sehat dan tidak bisa dikompromikan.
3. Riwayat itu bertentangan dengan al-Qur’an atau sunnah yang mutawatir.
4. Riwayat itu berbicara tentang perkara besar namun yang meriwayatkannya adalah satu orang saja.[13]
Ilmu Mustalah sebagaimana membahas tentang kritik sanad juga membahas tentang kritik matan secara bersamaan, untuk menunjukkan dan menggambarkan kritik matan yang juga tercakup dalam ilmu mustalah, berikut beberapa kutipan penting yang menunjukkan akan hal ini:
- Dalam bahasan tentang hadits shahih, para ulama hadits mensyaratkan beberapa syarat, di antaranya hadits itu harus selamat dari syudzudz dan illah, dan syudzudz serta illah bisa terjadi pada matan dan sanad, apabila syudzudz dan illah terdapat pada matan maka ini termasuk dalam kategori kritik matan.
- Dalam membahas tentang hadits hasan dan shahih, para ulama mustalah kemudian biasanya membahs tentang perbedaan antara istilah “hadits shahih” dengan “hadits shahih al-isnad”, antara istilah “hadits hasan” dengan “hadits hasan al-isnad”, karena terkadang sanad sebuah riwayat bisa jadi shahih namun matannya tiak demikian.
- Dalam pembahasan tentang hadits as-syadz, al-mungkar, al-mu’all, al-mudhtarib, al-mudraj dan al-maqluub, para ulama menjelaskan bahwa hal disebutkan tadi bisa jadi terdapat pada matan hadits sebagaimana bisa terdapat pada sanadnya.[14]
D.Metodologi Kritik Matan
Dalam melakukan kritik matan para ulama hadits banyak memakai metode perbandingan (mu’aradhah), metode ini telah berkembang sejak zaman sahabat, dalam menentukan otentitas dan validitas hadits mereka melakukan studi perbandingan dengan al-Qur’an sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits lain yang mutawatir, juga dengan realita sejarah, jika terjadi pertentangan maka hadits yang bersangkutan dicoba untuk dikompromikan atau ditakhsis sesuai dengan sifat dan tingkat pertentangan, namun jika tidak bisa maka dilakukan proses tarjih dengan mengutamkan yang lebih kuat sesuai dengan kaidah dan ketentuan yang ada.[15]
E.Orientalis Berbicara Tentang Kritik Matan
Para orientalis mengetahui bahwasanya as-Sunnah adalah sumber hukum kedua dalam Islam setelah al-Qur’an, maka demi mewujudkan tujuan-tujuan negatif mereka terhadap agama yang mulia ini, mereka menempuh berbagai cara, di antaranya adalah dengan menanmkan keraguan dalam hati-hati kaum muslimin terhadap keabsahan dan kehujahan as-sunnah, bahkan tidak hanya sampai di situ mereka menuduh para ahli hadits sendiri yang membuat riwayat-riwayat palsu, salah seorang orientalis terkenal Joseph Schact mengatakan “Oleh karena itu para ahli hadits membuat-buat sendiri keterangan-keteranagan serta hadits-hadits dan mengklaim bahwa hadits-hadits itu adalah riwayat dari Nabi, dan riwayat-riwayat itu sampai kepada kami dengan sanad-sanad yang bersambung dan dari para perawi yang terpercaya, sehingga sangat sulit sekali kita menganggap sebuah hadits-khususnya yang berkaitan dengan masalah fiqih-sebagai hadits shahih.”[16]
Di antara celah yang digunakan oleh para orientalis barat dalam menanamkan keraguan terhadap keabsahan dan kehujahan as-sunnah adalah dengan meragukan validitas as-sunnah disebabkan karena para ulama hadits hanya meneliti sanad hadits saja dan melupakan kritik matan, William More mengatakan “as-Sunnah hanya sekedar hasil perbincangan tentang Muhammad, sedang para muhadditsin sama sekali melupakan kritik matan.”[17] Nicholas .P.Aghnides mengatakan “Sesungguhnya para muhadditsin sama sekali tidak mempedulikan matan.”[18]
Untuk menjawab tuduhan-tuduhan yang miskin argument dari para orientalis ini, mudah-mudahan dengan paparan yang kami sebutkan di atas cukup untuk menepis tuduhan-tuduhan mereka ini. Wallahu a’lam.
[1] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm.217-218, dikutip dari Shalahuddin bin Ahmad al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda Ulama’ al-Hadits an-Nabawi,(Beirut:Daar al-Aafaq al-Jadidah, cet.I, 1983), hlm.11.
[2] Ahmad Amin, Duha al-Islam, jilid II, hlm.130-132 dikutip dari Shalahuddin bin Ahmad al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda Ulama’ al-Hadits an-Nabawi,(Beirut:Daar al-Aafaq al-Jadidah, cet.I, 1983), hlm.12.
[3] Muhammad Abu Rayah, Adhwa’ ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, hlm.300, dikutip dari Shalahuddin bin Ahmad al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda Ulama’ al-Hadits an-Nabawi,(Beirut:Daar al-Aafaq al-Jadidah, cet.I, 1983), hlm.14
[4] Shalahuddin bin Ahmad al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda Ulama’ al-Hadits an-Nabawi,(Beirut:Daar al-Aafaq al-Jadidah, cet.I, 1983), hlm.14
[5] Ibid, hlm.40-52.
[6] Ibid, hlm.67-84.
[7] Az-Zarkasyi, al-Ijabah li Iiraad ma Adrakathu A’isyah al as-Shahabah, hlm.135. az-Zarkasyi mengatakan “Beberapa sahabat meriwayat hadits ini (hadits tentang perintah untuk mandi bagi yang memandikan jenazah), namun mereka tidak menyebutkan perintah untuk berwudhu’ bagi mereka yang memikul jenazah, di antara sahabat yang meriwayatkan hadits ini tanpa tambahan perintah untuk berwudhu’ bagi yang memikul jenazah adalah A’isyah dan beberapa sahabat lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi.”
[8] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Bab “al-Mayyit Yu’azzab bi Buka’ Ahlih” jilid II, 638, az-Zarkasyi, al-Ijabah…hlm.76,77.
[9] Az-Zarkasyi, al-Ijabah…hlm.78.
[10] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, kitab “Fadha’il as-Shahabah”, jilid VX, hlm.174-175.
[11] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, bab “Ma Ja’a fi Dzahaab al-Ilm”, jilid V, 31.
[12] Shalahuddin bin Ahmad al-Adlibi, Manhaj.., hlm.155-162, 207.
[13] Ibid, hlm.237.
[14] Ibid, hlm.191-192
[15] M.Isa.H.A.Salam Bustamin, Metodologi Kritik Matan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.61.
[16] Muhammad Luqman, Ihtimam al-Muhadditsin bi Naqd al-Hadits Snadan wa Matnan, (Riadh: Daar ad-Da’i li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1420 H), hlm.444, dikutip dari An Introduction to Islamic Law, Chap.6.p.34.
[17] Ibid, hlm.435, dikutip dari Tarikh al-Hadits hlm.156.
[18] Ibid, hlm.467, dikutip dari Glimpses of The Hadith, p.49,50.
0 comments:
Post a Comment