Contoh Resensi Kitab/Buku-Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd-. Dalam membuat sebuah resensi buku/kitab yang baik, harus mengandung
beberapa unsur dan komponen di dalamnya:
1.Sekilas Biografi Penulis Buku
2.Gambaran Isi
3.Pendekatan yang Dipakai Penulis Dalam Menulis Buku/Kitabnya
4.Kelebihan dan Kekurangan Buku/Kitab
NB:
Di bawah ini ada contoh resensi buku/kitab, judul-judul komponen yang
ada bisa anda hapus pada resensi sebenarnya.
Sekilas Tentang Penulis
Kitab “al-Bidayah
wa an-Nihayah” disusun oleh al-Imam Abul Waliid Muhammad bin Ahmad Ibn
Rusyd al-Hafiid, dilahirkan tahun 520 H di kota Cordova Spanyol, beliau
dilahirkan dari keluarga ulama, kakek beliau Ibnu Rusyd al-Jadd adalah seorang
ulama besar madzhab maliki, begitu pula ayah beliau Abul Qasim Ahmad bin
Muhammad adalah seorang ulama besar di zamannya yang kelak menjadi guru pertama
Ibnu Rusyd al-Hafiid, al-Imam adz-Zahabi menyebutkan biografi Ibnu Rusyd di
dalam kitabnya “Siar A’lam an-Nubala’”, disebutkan oleh adz-Dzahabi
bahwa Ibnu Rusyd dikenal sebagai ulama yang tawadhu’, cerdas dan tidak pernah
berhenti menuntut ilmu, bahkan adz-Dzahabi mengatakan beliau (Ibnu Rusyd) tidak
pernah alfa dari membaca dan menyusun kitab-kitab beliau kecuali pada dua malam
saja, di malam meninggalnya sang ayah dan di saat malam pernikahan beliau.
Beliau berhasil
menghafal “al-Muwatha’” karya imam Malik di bawah bimbingan ayah beliau
Abul Qasim, kemudian beliau menuntut ilmu kedokteran kepada Abu Marwan
al-Balansi, ilmu Fiqih kepada al-Hafidz Muhammad bin Rizq dan beliau juga
berguru kepada al-Hafidz Ibnul Arabi al-Andalusi serta belajar ilmu Matematika
dari beliau. Beliau banyak dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles Plato dan Ibn
Bajjah dalam bidang Filsafat sebagaimana
beliau juga teman dekat Ibnu Thufail Muhammad bin Abdul Malik tokoh Filsafat
terkenal di zaman itu.
Sekitar tahun 578 H beliau diangkat oleh salah seorang khalifah
daulah muwahhidin Yusuf Abu Ya’qub sebagai Qadhi (hakim) daerah Sevilla
dan Cordova, beliau meninggal tahun 595 H di Marakech Maroko.
Beliau memiliki banyak
karya tulis dan kitab-kitab ilmiyah, penyusun kitab “Syajarah an-Nur
az-Zakiyyah” menyebutkan bahwa buah karya beliau lebih dari 60 kitab di
samping yang hilang dan dibakar di akhir-akhir hayat beliau, di antaranya kitab-kitab
beliau yang terkenal adalah kitab “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtashid”, “al-Kulliyat”, “Manahij al-Adillah”, “Tahafut
at-Tahafut”, “al-Hayawan”, “al-Masa’il”
dan lain sebagainya.
Gambaran Isi
Kitab “Bidayah
al-Mujtahid” sebenarnya adalah kitab yang memuat mayoritas masalah-masalah
khilaf yang terjadi di kalangan para ulama khususnya ulama-ulama madzhab, Ibnu
Rusyd sebenarnya melalui kitab “Bidayah al-Mujtahid” ingin memudahkan
para penuntut ilmu Fiqih untuk mengetahui secara menyeluruh segala hal yang
berkaitan dengan khilaf para ulama dalam masalah-masalah Fiqih, dengan terlebih
dahulu mengetengahkan ijma’ yang terjadi di kalangan para ulama dalam satu
masa’alah yang beliau bahas, kemudian beliau menjabarkan cabang-cabang masalah
yang menjadi perdebatan para ulama dalam masalah yang bersangkutan disertai
dengan sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam salah satu cabang masalah
tadi, dua hal yang kami sebukan terakhir inilah yang menjadi salah satu
keistimewaan yang dimiliki oleh kitab “Bidayah al-Mujtahid” dari
kitab-kitab sejenis lainnya. Sebagai contoh, kami membawakan apa yang ditulis
Ibnu Rusyd dalam Kitab az-Zakat, beliau mengatakan: “Masalah-masalah yang
berkaiatan dengan Zakat ini tersimpul dalam 5 masalah: Siapa yang wajib
berzakat, harta apa saja yang wajib dizakati, berapa kadar zakat yang wajib
dikeluarkan, kapan wajib membayar zakat dan kepada siapa zakat itu wajib
diberikan…Adapun permasalahan, Siapa yang wajib mengeluarkan zakat maka para
ulama telah sepakat bahwa zakat dikeluarkan oleh seorang muslim yang berakal,
baligh, merdeka, memliki nishab, mereka (para ulama) berbeda pendapat terakait
wajib atau tidaknya zakat atas seorang anak yatim…” setelah itu, pada paragraf
berikutnya Ibnu Rusyd menjelasakan sebeb terjadinya perbedaan pendapat dalam
masalah tersebut seraya mengatakan:”Penyebab terjadinya perbedaan pendapat para
ulama dalam masalah ini adalah perbedaan pandangan mereka dalam
pengklasifikasian zakat itu sendiri, apakah zakat itu ibadah sejenis dengan
shalat ataukah zakat adalah hak yang wajib dikeluarkan oleh orang kaya kepada
orang miskin, maka yang mengatakan bahwa
zakat itu adalah ibadah seperti seperti shalat maka mereka mengatakan zakat itu
tidak wajib atas anak yatim, akan tetapi mereka yang mengatakan bahwa zakat itu
adalah hak wajib dari orang kaya kepada orang miskin maka zakat itu wajib atas
anak yatim.”(Bidayah al-Mujtahid :II/5).
Sebenarnya Ibnu Rusyd
menjelaskan tujuan beliau menyusun kitab “Bidayah al-Mujathid” di
muqaddimah yang beliau buat di awal kitab, beliau mengatakan:”Tujuan saya
menyusun kitab ini sebenarnya adalah mengingatkan diri saya sendiri tentang
masalah-masalah hukum yang telah disepakati para ulama, masalah-masalah khilaf
disertai dengan dalil-dalilnya, (kitab ini) sebagai acuan bagi seorang mujtahid
dalam menganalisa masalah-masalah yang belum terjadi di masa yang akan
datang.”(Bidayah al-Mujtahid :I/9), jadi sebenarnya Ibnu Rusyd ingin
meletakkan ensiklopedi khilaf para ulama dalam berbagai masalah fiqih yang bisa
dijadikan acuan bagi ahli ijtihad di masa yang akan datang, karena sebagaimana
kita ketahui seiring dengan perkembangan zaman, masalah-masalah fiqih terus
berkembang, terlahir masalah-masalah baru dalam satu bab Fiqih. Oleh karena itu
ketika seorang mujtahid menganalisa suatu masalah berdasarkan ijtihadnya dia
harus memiliki acuan dan rambu-rambu yang jelas terkaiat masalah yang sedang ia
bahas, seorang mujtahid bisa merujuk kepada kitab “Bidayah al-Mujtahid”
untuk mengetahui hal-hal yang menjadi konsensus (kesepakatan) para ulama dalam
suatu masalah tertentu misalnya.
Pendekatan yang Digunakan
Menurut hemat penulis,
bisa dikatakan bahwa pendekatan yang dipakai oleh Ibnu Rusyd dalam menyusun
kitab beliau “Bidayah al-Mujtahid” adalah pendekatan komparatif lintas madzhab,
karena Ibnu Rusyd dalam membahas suatu masalah fiqih yang diperselisihkan
menyebutkan pendapat-pendapat mayoritas madzhab fiqih dilengkapi dengan
menyebutkan dalil-dalil dan argument-argumen masing-masing madzhab, kemudian
tidak jarang Ibnu Rusyd melakukan tarjih setelah terlebih dahulu
menimbang dan menilai semua dalil dan argumen yang diungkapkan oleh
masing-masing madzhab.
Selaian itu di
tengah-tengah pembahasan suatu masalah fiqih tak jarang keunikan Ibnu Rusyd
sebagai tokoh Islam yang menguasai multi disiplin ilmu nampak begitu jelas,
misalnya ketika beliau berbicara tentang khilaf ulama tentang kemungkinan
seorang perempuan yang hamil itu tertimpa haid atau tidak, beliau dalam masalah
ini menggunakan pendekatan ilmu kedokteran, beliau menyebutkan bahwa perempuan
yang hamil bisa saja tertimpa haid jika perempuan itu memiliki kekuatan fisik
yang cukup dan janin yang dikandungnya masih kecil, kemudian ketika membahas
tentang kemungkinan hilal Ramadhan terlihat sebelum matahari tenggelam (Bidayah
al-Mujtahid:II/47), terlihat sekali lagi bagaimana beliau menguasai
berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu Falak dan menjadikannya sebagai alat untuk
membahas suatu masalah fiqih yang diperselisihkan secara komprehensif dan
mendalam.
Kekurangan dan Kelebihan
Kekurangan
o
Hampir
semua masalah-masalah khilaf yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd tidak disertai
dengan takhrij hadits padahal hal ini sangat penting karena pendapat yang
dikemukakan oleh seorang ulama bersandar kepada sebuah dalil, dan dalil ini
terkadang dari hadits yang para ulama terkadang berbeda dalam memandang suatu
hadits dari segi shahih atau tidaknya, sebagai contoh ketika Ibnu Rusyd
berbicara tentang masalah apakah disyaratkan adanya wali nikah? Ketika
berbicara tentang hadits:
لا
نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Beliau mencukupkan diri dengan hanya mengatakan:”Terajadi perbedaan
pendapat tentang marfu’ atau tidaknya hadits ini.”(Bidayah al-Mujtahid:
I/34), padahal jika ditelusuri hadits ini merupakan hadits yang masyhur dan
dishahihkan oleh pakar-pakar hadits zaman dahulu maupun sekarang (hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud no.2085 dan seliain beliau, lihat takhrij hadits
ini dalam kitab “Irwa’ al-Ghalil” oleh Syaikh al-Allamah al-Albani
hadits no.1839), juga terdapat riwayat-riwayat serupa yang tidak disebutkan
oleh Ibnu Rusyd dalam hal ini, di antaranya riwayat:
أيما
امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam “al-Musnad”
(no.24417), Abu Dawud dalam “as-Sunan” (no.2083), at-Tirmidzi dalam “as-Sunan”
(no.1102) dan dishahihkan oleh al-Allamah al-Albani dari kalangan ulama hadits
kontemporer dalam kitab beliau “Shahih Sunan Abu Dawud”.
o
Ibnu
Rusyd terkadang memandang suatu masalah khilaf sebagai khilaf yang syadz, padahal sebenarnya tidak
demikian, sebagai contoh ketika Ibnu Rusyd berbicara tentang perbedaan ulama
mengenai apakah wudhu’ merupakan syarat sah sujud tilawah, beliau mengatakan
mayoritas ulama mensyaratkan wudhu’ bagi orang yang akan melakukan sujud
tilawah, beliau menyebutkan ada ulama yang mengatakan sujud tilawah tidak
disyaratkan wudhu’/thaharah, lantas beliau mengatakan: “Ini adalah pendapat
yang syadz.”(Bidayah al-Mujtahid: I/47).
Padahal perbedaan ulama tentang masalah ini sangat masyhur, di
antara para ulama yang berpendapat bahwa thaharah bukan merupakan syarat sujud
tilawah adalah para ulama Dzahiriyah termasuk Ibnu Hazm (al-Muhalla:I/134),
sahabat yang mulia Ibnu Umar, Utsman bin Affan dan Sa’id Ibnul Musayyib (al-Mushannaf
: I/466).
o
Penggunaan
kalimat-kalimat yang terkadang sulit dicerna dan difahami, hal ini bisa jadi
disebabkan oleh penggunaan berbagai disiplin ilmu yang digunakan oleh Ibnu
Rusyd dalam menyusun kitab “Bidayah al-Mujtahid” ini.
o
Ibnu
Rusyd sangat jarang sekali menyebutkan pendapat madzhab Imam Ahmad bin Hambal,
padahal madzhab Hambali adalah salah satu madzhab besar yang menjadi pegangan
kaum muslimin di berbagai negara Islam dari dulu sampai sekarang.
Kelebihan
o
Ibnu
Rusyd membahas secara menyeluruh semua bab Fiqih dalam kitab “Bidayah
al-Mujtahid”, mulai dari at-Thaharah sampai kitab al-Aqdiyah
dengan menyertakan pembahasan mayoritas masalah-masalah yang terkait.
o
Ibnu
Rusyd tidak mencukupkan dengan pendapat madzhab maliki yang menjadi madzhab
beliau, sehingga kitab beliau merupakan kitab terdepan dalam “al-Fiqhul
Muqrin”, bahkan beliau tidak hanya mengetengahkan pendapat-pendapat imam
madzhab yang empat saja, terkadang beliau juga menyertakannya dengan
menyebutkan pendapat para imam madzhab lainnya seperti madzhab az-Dzahiriyah,
al-Auza’i, Ibnu Rahawaih dan selain mereka. Namun sebagaimana yang disampaikan
di atas penyebutan pendapat madzhab Hambali acap kali dikesampingkan oleh Ibnu
Rusyd.
o
Cara
penyajian yang begitu bagus dan apik ditempuh oleh Ibnu Rusyd dalam menyusun
kitab beliau yang istimewa ini, yaitu dengan terlebih dahulu melakukan pemetaan
terhadap masalah-masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam suatu bab Fiqih,
lalu menyebutkan ijma’/kesepakatan ulama dalam beberapa masalah yang berlkaiatn
dengan bab yang bersangkutan, lantas menyebutkan khilaf ulama yang terjadi
disertai dengan menyebutkan penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam
masalah tersebut.
o
Penyajian
kitab yang singkat namun padat, tidak seperti kitab-kitab Fiqh al-Muqarin
lainnya yang terkadang pengarang kitab hanyut dalam bantah-membantah,
penjabaran masalah dan kritik terhadap suatu pendapat dengan panjang lebar
sampai melupakan substansi masalah.
o
Penyertaan
dalil-dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan al-Qias dalam menyebutkan
pendapat-pendapat para ulama dalam suatu masalah fiqih.
o
Penggunaan
berbagai disiplin ilmu dalam menggali lebih dalam materi dan masalah-masalah
yang beliau bahas dalam kitab “Bidayah al-Mujtahid”, tidak heran, karena
beliau juga di samping mahir dalam ilmu syari’at beliau juga menguasi bidang
ilmu yang lain seperti ilmu kedokteran dan lainnya.
0 comments:
Post a Comment